PENGERTIAN PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING
Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam pembangunan manusia sudah tampak sejak awal abad IV SM. Gagasan pendidikan berbasis pengalaman (experiential education) atau yang disebut “learning by doing” memiliki sejarah panjang. Awalnya, para guru outdoor menyebut experiential education sebagai gaya belajar di luar ruangan. Senada dengan itu, program pendidikan petualangan, yang berlangsung di luar ruangan (outdoor), memanfaatkan pengalaman di dunia nyata untuk mencapai tujuan belajarnya. Pemikiran mengenai pendidikan berbasis pengalaman semakin berkembang dengan munculnya karya John Dewey (1938) yang mengungkapkan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman sebagai landasan dalam menetapkan pendidikan formal. Model pendidikan ini terus berkembang, hingga pada tahun 1977 berdiri Association for Experiential Education (AEE) (Hammerman, 2001).
Experiential learning merupakan sebuah model holistic dari proses pembelajaran di mana manusia belajar, tumbuh dan berkembang. Penyebutan istilah experiential learning dilakukan untuk menekankan bahwa experience (pengalaman) berperan penting dalam proses pembelajaran dan membedakannya dari teori pembelajaran lainnya seperti teori pembelajaran kognitif ataupun behaviorisme (Kolb, 1984).
Experiential learning memiliki makna yang berbeda-beda, namun mengacu kepada satu pemikiran. Menurut Association for Experiential Education (AEE), experiential learning merupakan falsafah dan metodologi dimana pendidik terlibat langsung dalam memotivasi peserta didik dan refleksi difokuskan untuk meningkatkan pengetahuan, mengembangkan keterampilan. Experiential learning mendorong siswa dalam aktivitasnya untuk berpikir lebih banyak, mengeksplor, bertanya, membuat keputusan, dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari.
Pembelajaran dengan model experiential learning mulai diperkenalkan pada tahun 1984 oleh David Kolb dalam bukunya yang berjudul “ Experiential Learning, experience as the source of learning and development”. Experiential learning mendefinisikan belajar sebagai “proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman” (Kolb 1984: 41). Gagasan tersebut akhirnya berdampak sangat luas pada perancangan dan pengembangan model pembelajaran seumur hidup (lifelong learning models). Pada perkembangannya saat ini, menjamurlah lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan yang menggunakan Experiential learning sebagai metode utama pembelajaran bahkan sampai pada kurikulum pokoknya.
Experiential learning itu adalah proses belajar, proses perubahan yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran. Experiential learning adalah pembelajaran yang dilakukan melalui refleksi dan juga melalui suatu proses pembuatan makna dari pengalaman langsung. Experiential learning berfokus pada proses pembelajaran untuk masing-masing individu (David A. Kolb 1984).
Experiential learning adalah suatu pendekatan yang dipusatkan pada siswa yang dimulai dengan landasan pemikiran bahwa orang-orang belajar terbaik itu dari pengalaman. Dan untuk pengalaman belajar yang akan benar-benar efektif, harus menggunakan seluruh roda belajar, dari pengaturan tujuan, melakukan observasi dan eksperimen, memeriksa ulang, dan perencanaan tindakan. Apabila proses ini telah dilalui memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan baru, sikap baru atau bahkan cara berpikir baru.
Jadi, experiential learning adalah suatu bentuk kesengajaan yang tidak disengaja (unconsencious awareness). Contohnya, ketika siswa dihadapkan pada game Spider Web atau jaring laba-laba. Tugas kelompok adalah menyeberang jaring yang lubangnya pas dengan badan kita, namun tidak ada satu orangpun yang boleh menyentuh jaring tersebut. Tugas yang diberikan tidak akan berhasil dilakukan secara individual karena sudah diciptakan untuk dikerjakan bersama. Untuk mencapai kerjasama yang baik, pasti akan timbul yang namanya komunikasi antaranggota kelompok. Lalu muncullah secara alami orang yang yang berpotensi menjadi seorang inisiator, leader, komunikator, ataupun karakter-karakter lainnya.
Experiential learning itu sendiri berisi 3 aspek yaitu: Pengetahuan (konsep, fakta, informasi), Aktivitas (penerapan dalam kegiatan) dan Refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu). Ketiganya merupakan kontribusi penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Relasi dari ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
Sedangkan dalam merancang pelatihan experiental learning, ada 4 tahapan yang harus dilalui yaitu: 1 Experiencing, tantangan pribadi atau kelompok, 2. Reviewing: menggali individu untuk mengkomunikasikan pembelajaran dari pengalaman yang didapat, 3. Concluding menggambarkan kesimpulan dan kaitan antara masa lalu dan sekarang, serta 4. Planning: menerapkan hasil pembelajaran yang dialaminya.
Menurut Mardana (2005) belajar dari pengalaman mencakup keterkaitan antara berbuat dan berpikir. Jika seseorang terlibat aktif dalam proses belajar maka orang itu akan belajar jauh lebih baik. Hal ini dikarenakan dalam proses belajar tersebut pembelajar secara aktif berpikir tentang apa yang dipelajari dan kemudian bagaimana menerapkan apa yang telah dipelajari dalam situasi nyata.
Sedangkan Atherton (2002) mengemukakan bahwa dalam konteks belajar, pembelajaran berbasis pengalaman dapat dideskripsikan sebagai proses diman pengalaman belajar direfleksikan secara mendalam dan dari sini muncu pemahaman baru atau proses belajar.
Model pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi seperangkat atau serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru (Hamalik,2001) Cara ini mengarahkan para siswa untuk mendapatkan pengalaman lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingan bila mereka hanya membaca suatu materi atau konsep. Dengan demikian, belajar berdasarkan pengalaman lebih terpusat pada pengalaman belajar siswa yang bersifat terbuka dan siswa mampu membimbing dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa penerapan model experiential learning dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri (Depdiknas, 2002). Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapakan model experiental learning guru harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Hamalik (2001), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiental learning adalah sebagai berikut :
1. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu.
2. Guru harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi.
3. Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.
4. Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situsi pengganti. Contohnya : Di dalam kelompok kecil, siswa membuat mobil-mobilan dengan menggunakan potongan-potongan kayu, bukan menceritakan cara membuat mobil-mobilan.
5. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membua keputusan sendiri, menerima kosekuensi berdasarkan keputusan tersebut.
6. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang dialam sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman tersebut.
Selain beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiental learning, guru juga harus memperhatikan metode belajar melalui pengalaman ini, yaitu meliputi tiga hal di bawah ini.
1. Strategi belajar melalui pengalaman berpusat pada siswa dan berorientasi pada aktivitas. Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah proses belajar, dan bukan hasil belajar.
2. Guru dapat menggunakan strategi ini dengan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Oleh karena itu, model pembelajaran experiental learning disusun dan dilaksanakan dari hal-hal yang dimiliki oleh peserta didik. Prinsip inipun berkaitan dengan pengalaman di dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta dalam cara-cara belajar yang biasa dilakukan oleh peserta didik (Sudjana, 2005). Experiential learning menurut Cahyani (2003) adalah suatu proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung.
Oleh karena itu, metode ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Langkah menantang bagi guru dalam experiential learning adalah memikirkan atau merancang aktifitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa baik individu maupun kelompok. Aktifitas pembelajaran harus berfokus pada peserta belajar (student-centered learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus mereka lakukan, apa yang harus kita katakan atau sampaikan harus secara detail kita rancang dengan baik.
Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang yang dibutuhkan juga harus benar-benar telah tersedia dan siap untuk digunakan (Roem ,1986). Metode Experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Dengan demikian, dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa experiential learning adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, Experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk membantu pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran sehingga pembelajar terbiasa berpikir kreatif. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah sebagai fasilitator.
0 komentar:
Posting Komentar