Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif disebut dengan skemata atau struktur, yaitu kumpulan dari skema-skema. Artinya seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika masih kecil.
Perkembangan skemata berlangsung secara terus menerus melalui adaptasi dengan lingkunganya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Semakin baik kualitas skema ini, maka semakin baik pula pola penalaran dan tingkat intelegensi anak tersebut, kondisi ini disebut dengan equilibrium, namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola penaralan maka akan mengalami disequilibrium.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu:
1. Struktur (structure)
Terbentuk dari hubungan fungsional anak antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan berpikir logis anak dalam berinteraksi dengan lingkungan, kemudian tindakan tersebut menuju pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya menuju perkembangan struktur atau skemata. Diperolehnya skemata berarti telah terjadi perubahan dalam perkembangan intelektual anak.
2. Isi (content)
Isi disebut juga dengan content, yaitu pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.
3. Fungsi (function)
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme dalam mencapai kemajuan intelektual. Menurut piaget perkembangan intelektual anak terdiri dari dua fungsi yaitu
a. Organisasi, yaitu kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan.
b. Adaptasi, yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara yaitu:Pertama asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya dengan menggunakan struktur kognitifnya. Kedua Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/proses perubahan respons individu terhadap stimulus lingkungan.
2.1.1 Tahap-Tahap Perkembangan
Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget menemukan empat tahapan perkembangan kognitif yaitu:
1. Tahap sensori motor (0-2 tahun)
Merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan meraba obyek-obyek. Anak belum mempunyai kesadaran adanya konsep obyek tetap. Jika obyek hilang anak tidak akan mencarinya. Pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2. Tahap pra operasi (2-7 tahun)
Tahap pra operasi terbagi atas dua yaitu pertama pemikiran prakonseptual (sekitar usia 2-4 tahun),ciri anak pada tahap ini adalah anak mulai membentuk konsep sederhana, anak mulai mampu mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya. Kedua periode pemikiran intuitif (sekitar usia 4-7 tahun). Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Operasi yang digunakan adalah tindakan-tindakan kognitif, misalnya mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda-benda menurut urutan tertentu. Pada tahap ini anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Pengalaman anak pada tahap ini hanya sampai pada tahap operasional belum memahami konsep kekekalan dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
3. Tahap operasi konkrit (7-11 tahun)
Pada tahap ini umumnya anak sudah berada di Sekolah Dasar, sehingga semistanya guru sudah mengetahui benar kondisi anak pada tahap ini. Guru-guru harus mengetahui apa yang telah dimiliki anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Pada tahap ini anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit serta sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika. Misalnya anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematika. Akan tetapi anak belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu:
a) Kekekalan banyak (6-7 tahun)
b) Kekekalan materi (7-8 tahun)
c) Kekekalan panjang (7-8 tahun)
d) Kekekalan luas (8-9 tahun)
e) Kekekalan berat (9-10 tahun)
f) Kekekalan Volum (11-12 tahun)
4. Tahap operasi formal (usia 11 keatas)
Periode operasi formal ini disebut juga periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual.
Kemampuan Anak-anak pada periode ini yang perlu diperhatikan guru adalah:
a) Anak sudah dapat memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikirnya
b) Anak sudah mampu dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan benda-benad empiris.
c) Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang berada dalam periode operasi konkrit.
d) Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak memungkinkan.
e) Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dann menggunakan proposisi-proposisi logic-formal termasuk aksioma dan defenisi-defenisi verbal.
f) Anak mampu berpikir kombinatorial, artinya bila anak dihadapkan kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi factor-faktor tersendiri atau kombinasikan factor-faktor itu sehingga menuju penyelesaian tadi.
Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis yang diberikan itu adalah fleksibel, terutama selama masa transisi dari periode yang satu ke periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih tergantung individunya. Piaget berpendapat, tidak ada gunanya bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode berikutnya.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Piaget mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu:
1. Kedewasaan atau kematangan
Proses perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi fisik lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif.
2. Pengalaman fisik
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan untuk mengabstrak berbagai sifat fisik dari benda-benda. Contoh, bila seorang anak menjatuhkan benda dan menemukan benda itu pecah, atau bila anak menempatkan benda dalam air kemudian anak melihat benda tersebut terapung, maka anak telah terlibat dalam proses abstraksi. Proses inilah yang disebut dengan pengalaman fisik. Pengalaman fisik ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak, sebab observasi benda-benda serta sifat benda-benda menolong timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
3. Pengalaman logika-matematik
Interaksi dengan lingkungan dengan cara mengamati benda-benda disekililingnya atau mengkonstruksi hubungan-hubungan antara objek-objek
Contoh. Anak yang sedang menghitung kelereng, kemudian anak tersebut menemukan kelerengnya berjumlah sepuluh buah. Dalam proses ini anak tidak menemukan sifat dari kelereng melainkan kontuksi dari pikiran anak tersebut.
4. Transmisi sosial
Interaksi dan kerja sama anak dengan orang lain atau dengan lingkungnya. Hal ini amat penting bagi perkembangan mental anak. Perkembangan mental anak diperoleh melalui pengaruh bahasa, intruksi formal, dan membaca.
5. Penyetimbangan (Equilibrium
Proses adanya kehilangan stabilitas di dalam struktur mental sebagai akibat pengalaman dan informasi baru dan kembali setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai hasil dari equilibrium, struktur mental berkembang dan menjadi matang.
2.1.3 Sikus Belajar
Prinsip belajar piaget adalah kontruktivis yaitu pengajaran efektif yang menghendaki guru agar mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang menjadi subjeks pengajaran. Pengajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada, melalui langkah-langkah intermediet dan berakhir degan gagasan yang telah mengalami modifikasi.
Strategi yang digunakan adalah
a. Fase deskriptif
Siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola deskriptip (misalnya seriasi, klasifikasi, konsurvasi). Dalam sisklus ini, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (ekslopolari). Guru memberi nama pada pola itu (pengenalan atau konsep); kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Untuk siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa usaha melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka. Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, apa?, tetapi tidak menimbulkan pertanyaan, mengapa?
b. Fase Empiris Deduktif
Yaitu, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini (pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru atau keduanya. Dengan bimbingan guru para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi-konsep). Dengan kata lain, pengamatan-pengamatan dilakukan secara deskriptif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh, yaitu mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama empiris-induktif
c. Fase Hipotesis-Deduktif
Yaitu dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotetsis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis (eksplorasi).
2.1.4 Implikasi Teori Belajar Piaget
Penerapan teori perkembangan kognitif Piaget di kelas adalah:
a) Guru harus mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
b) Agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri. Metode yang baik digunakan adalah dengan menemukan (discovery).
c) Tidak menghukum siswa jika menjawab pertanyaan yang salah.
d) Menekankan kepada para siswa agar mau menciptakan pertanyaa-pertanyaan dari permasalahan yang ada serta pemecahan permasalahannya.
e) Tidak meninggalkan anak pada saat di beri tugas.
f) Membimbing siswa dalam menemukakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
g) Menghindari istilah-istilah teknis.
h) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak karena Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa.
i) Menganjurkan para siswa berpikir dengan cara mereka sendiri.
j) Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
k) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
l) Memberi peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
m) Didalam kelas, anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan teman-temannya.
0 komentar:
Posting Komentar