Demokrasi Pendidikan (2)


A.    Demokratisasi Pengembangan Kurikulum
Mau dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak menentukan arah dan kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam penyeleggaraan sekolah, dalam sistem atau dalam pendekatan apapun. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan sekolah akan menginspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak yang sangat kuat dan sangat besar dalam penetapan arah kebijakan kerikulum sekolah, barangkali sama kuatnya dengan pemerintah sendiri, karena client sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user, bukan terbatas dalam aspek penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan kerja secara lebih luas di semua sektor,pertanian, industri, jasa atau lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri. Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin meningkat dignity bangsa tersebut dihadapan bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya semakin merosot daya saingnya, maka akan semakin menurun pula nation dignitynya. Dengan demikian publik sekolah dan pemerintah sama-sama memiliki kepentingan dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana  sumber belajar lainnya yang memadai. Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna course out Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam proses penddikannya oleh guru.[1] Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik dibawah arahan dan bimbingan sekolah (Doll, 1964:15).
Doll menegaskan bahwa kurikulum adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena pengalaman yang diberikan guru belum tentu ditawarkan. Dengan demikian seluruh konsep pendidikan disekolah itu bisa dan harus ideal. Kurikulum harus bicara keharusan, dan bukan kemungkinan. Kemudian bimbingan dan arahan tidak saja tugas dan kewajiban guru, tapi menjadi tugas dan kewajiban sekolah, yang komponennya tidak sekedar guru, tapi juga kepala sekolah, karyawan sekolah dan unsur lain yang terkait langsung dengan proses pendidikan.
Sesuai pengertian diatas, maka kurikulum sebagaimana, dikemukakan Sukmadinata memiliki beberapa karektristik (Sukmadinata, 1997:27) yaitu: 
Ø  Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar para siswa disekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.
Ø  Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.
Ø  Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Akan tetapi, bukan menghindari diskursus tentang kurikulum, namun dengan menyerap pemahaman publik terhadap kurikulum, tampaknya definisi-definisi yang dikemukakan oleh Hilda Taba dan Robert Gagne, yang dikemukakan oleh Allan A. Glathorn dalam bukunya berjudul Curriculum Leadership, (Glathorn,1987:2) lebih mendekati pemahaman fragmatis tentang kurikulum. Menurut Taba, Kurikulum biasanya terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang tujuan umum, tujuan khusus, yang mengindekasikan kelompok bahan-bahan ajar terpilih yang juga menyatakan tentang model-model pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program evaluasi hasil belajar. Sementara Robert Gagne menegaskan, bahwa kurikulumadalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikian rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga mendeskripsikan kapabilitas (kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka.
Kedua tokoh tersebut amat berpengaruh dalam pendidikan karena mereka memberikan sebuah gambaran bahwa kurikulum berkaitan langsung dengan proses pembelajaran dalam kelas, hanya saja, Taba lebih menekankan pada struktur kurikulumnya itu sendiri dengan perumusan bahan-bahan ajar, model pembelajaran, serta evaluasi belajar. Sementara Gagne lebih menekankan pada sekwensinya yakni bahwa bahan ajar itu harus disusun dalam sebuah sekwensi yang sistematis, dan masing-masing unit pembelajaran harus mampu mendeskripsikan kompetensi yang bisa diperoleh siswa, sehingga jelas dan rasional, dan siswa harus menyelesaikannya dengan baik sampai menguasai benar dan mencapai kompetensi yang dirumuskannya itu.
Walaupun berbeda membuat rumusan, namun Doll, Taba dan Gagne memiliki pandangan yang sama, bahwa kurikulum adalah pengalaman-pengalaman belajar yang ditawarkan sekolah pada siswa, kemudian juga Doll sebagaimana Taba dan Gagne menyampaikan sebuah teori kurikulum yang standar bahwa program pembelajaran siswa itu harus dimulai dengan perumusan tujuan, bahkan menurutnya, kurikulum itu harus dianalisis benar, apakah tujuannya itu bisa tercapai oleh sekolah, berapa lama bisa dicapai, dan bagaimana susunannya sekwensi bahan-bahannya (Doll, 1964:22)
Pandangan tersebut nampak sejalan dengan rumusan yang dikemukakan Taba dan Gagne, hanya saja Doll melihat bahwa lingkungan sekolah serta pengalaman-pengalaman lain yang ditawarkan sekolah pada siswa termasuk dalam kategori kurikulum yang harus menjadi wilayah kajian evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan sekolah.
Akan tetapi, lingkungan, kultur dan berbagai kebijakan sekolah, walaupun diakui memiliki pengaruh terhadap  perubahan siswa, namun diakui memiliki pengaruh terhadap perubahan siswa, namun proses mempengaruhi perkembangan kepribadian siswanya terjadi secara tidak langsung, dan dikembangkan bukan sebagai bahan ajar untuk membentuk prilaku siswa tapi semata sebagai sebuah pekerjaan, sikap, kebijakan dan penataan  lingkungan dengan kepentingan masing-masing, namun memiliki pengaruh bermakna terhadap perkembangan siswa. Oleh sebab itulah, Allan A.Glatthorn menyebutnya sebagai The hidden Curriculum (kurikulum terselebung), yakni kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari, yang secara lebih definitive digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar kurikulum yang dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan nilai, persepsi dan prilaku siswa (Glatthorn, 1987:20). Kebiasaan sekolah menerapkan disiplin terhadap siswanya seperti ketetapan guru memulai pelajaran, kemampuan dan cara-cara guru menguasai kelas, kebiasaan guru memperlakukan mereka yang melakukan kenakalan didalam kelas, semuanya itu merupakan pengalaman-pengalaman yang dapat mengubah cara berpikir dan perilaku siswa. Demikian pula dengan lingkungan sekolah yang teratur, rapi, tertib dan mampu menjaga lingkungan yang bersih serta asri, merupakan pemgalaman yang dapat mempengaruhi kultur siswa. Itulah intinya hidden curriculum sebagaimana dikemukakan diatas. 
Selain itu menurut pandangan progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagai makhluk anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamis dan kreatif menghadapi dan memecahkan problema-problema. Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya. Hal ini terutama mengenai kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan diatas. Maka dari itu gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam lingkungan sekolah.
Hal yang penting sehubungan dengan uraian diatas, adalah bahwa anak didik dapat menghayati belajar yang edukatif, dan bukan yang misedukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang secara konstruktif, yang nilainya dan syarat-syaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi tentang hidup yang baik dan kebudayaan sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu negara atau bangsa. Sedangkan yang kedua ialah belajar yang misedukatif, adalah yang ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong kearah perkembangan yang dinamis, yang mungkin mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Dengan demikian pendidikan itu tidak lain adalah hidup itu sendiri.[2]
Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur.
. Oleh karena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya msing-masing.. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Selain jenis ini, menurt progresivisme yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut “Core Curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajajr disekitar kebutuhan umum.
Core Curriculum maupun kurikulum yang bersendikan pengalaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan pengalaman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan kearah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.

B.     Demokrasi Dan Desentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada lembaga penyelenggara pendidikan masyarakat untuk berperan dengan lebih nyata. Demokratisasi pendidikan memungkinkan terbukanya peluang yang seluas-luasnya bagi  masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsep demokratisasi pendidikan ini memberikan ruang publik yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat mengambil peranan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam keseluruhan sistem pendidikan dengan ikut menentukan arah dan kebijakan, merumuskan strategi, sasaran dan tujuan pendidikan serta ikut terlibat aktif dalam implementasi. Demokratisasi pendidikan merefleksikan pengakuan adanya potensi dan kekuatan masyarakat yang dapat memperkuat pendidikan.[3]
Paradigma demokratisasi dan desentralisasi pendidikan antara lain diformulasikan dalam konsep manajemen berbasis sekolah (MBS), pendidikan berbasisi masyarakat (PBM), dan otonomi perguruan tinggi. Tujuannya untuk memperluas kesempatan pendidikan bagi masyarakat dan meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan mutu pendidikan. Hal lain yang juga prinsipiil dan fundamental adalah untuk melakukan penguatan lembaga-lembaga sosial yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan baik didaerah maupun disekolah.[4]   
Demokratisasi pendidikan menjadi kian relevan untuk menjawab tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah. Seperti halnya desentralisasi dan otonomi dibidang administrasi pemerintahan, sebagian besar kewenangan penyelenggaraan pendidikan bergeser dari pusat ke daerah, bahkan bergeser ke institusi pelaksana pendidikan. 
Sebagaimana diakui, semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level internasional, cara paling strategis untuk mengalami demokrasi melalui apa yang disebut sebagai “democracy education”. Pendidikan demokrasi singkatnya secara substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, system, nilai , budaya, dan praktek demokrasi melaui pendidikan.
Pendidikan demokrasi tidak hanya urgen bagi negara-negara yang sedang berada dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara yang sudah mapan demokrasinya. Kenyataan inilah yang terlihat misalnya dari terbentuknya”civitas” internasional pada Juni 1995 di Praha. Dihadiri tidak kurang dari 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara, para peserta sepakat membentuk Civitas Internasional yang menyimpulkan pentingnya pendidikan demokrasi bagi pertumbuhan civic culture untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintah demokratis.[5]
Pendidikan demokratis dalam banyak hal identik dengan pendidikan kewargaan (civic education). Tetapi, juga jelas bahwa pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya dari sekedar pendidikan demokrasi. Hal ini tercermin jelas dari rumusan Civitas Internasional, bahwa pendidikan kewargaan yang efektif mencakup:
  • Pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya
  • Pemahaman tentang “rule of law” dan HAM seperti tercermin dalam rumusan-rumusan perjanjian dan kesepekatan internasionaldan local
  • Kekuatan keterampilan partisipatif yang akan memberdayakan peserta didik untuk merespon dan memecahkan masalah-masalah masyarakat mereka secara demokratis
  • Pengembangan budaya demokratis dan perdamaian pada lembaga-lembaga pendidikan dan seluruh aspek kehidupan masyarakat.[6]

[1] Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis “Sebuah Model Perlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan” , Januari 2004: Kencana. Edisi I
[2] Mansour, Fakih. 2001. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Read Books, cet I, hlm, 36.
[3] Syarief, H. Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah. Disajikan dalam Rapat Koordinasi Terbatas Gubernur Propinsi Seluruh Indonesia. Jakarta, 9 Januari 2001. hlm. 59 
[4] Ibid, hlm.60
[5] Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan Untuk Masyarakat Baru. Jakarta: Grasindo, hlm. 46
[6] Ubaidillah, A. et al. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta Press. Hlm. 242

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog



Diberdayakan oleh Blogger.