Pendidikan Sebagai Investasi Masa Depan


            Bahan yang dirancang dalam tubuh pendidikan, terdapat hal yang mendasar adalah membebaskan manusia hidup bodoh dan kemiskinan (humanizing human being). Sedangkan pembebasan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, terletak pada pendidikan mereka. Dengan berbekal pendidikan, mereka dapat membuahkan terhadap dirinya secara nyata. Maka, dengan bekal pendidikan terarahdan dapat melestarikan hidup nyaman dan tentram.
Ketika melihat kebijakan pendidikan terjadi dua pertentangan. Kebijakan pendidikan tidak bisa merumuskan gagasan hakekat pendidikan yang sifatnya sebagai baru dan pembaharu. Pendidikan bukan pemerdekakan pembebasan manusia dari keterkurungan kehendak nurani, melainkan berbalik makna.
Semestinya pendidikan melihat masa depan bangsa, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran dapat sedikit ditekan. Melestarikan terhadap peningkatan pendidikan diperlukan saran dan kritik bagi dunia pendidikan juga sebagai bahan evaluasi. Maka, sangatlah dibutuhkan, sebab bagaimanapun setiap persoalan, tanpa adanya kritik dan saran, mustahil menemukan formasi yang baik.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan    persatuan bangsa dan  bukannya perpecahan.
Banyak orang menganggap, pendidikan sebagai mekanisme men-disiplin-kan dan memposisikan yang potensial, mendorong hidup hemat, sederhana dan menghapuskan kemiskinan. Namun, problem pendidikan mengakarnya kepentingan dan kesejahteraan sebagian besar terabaikan oleh pemerintah. Artinya, tidak mempertimbangkan kepentingan pendidikan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Salah satu boleh dikatakan, pemerintah telah mewariskan versi pendidikan tidak berguna. Walaupun yang menjadi acuan adalah undang-undang. Sebagaimana amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 29 menyebutkan, “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)”.
Amanah pembukann UUD 1945 (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17), sudahkan pemantauan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan siswa dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, penerimaan arus informasi dan buku.
Dari versi kebijakan pendidikan di atas, belum terealisasikan secara merata. Contoh kongkritnya, sekolah/madrasah yang ada di pedesan masih kurang diperhatikan dan kurangnya fasilitas yang menunjang. Ketika ini terjadi, bagaimana ketika melihat nasib pendidikan jika undang-undang di atas terabaikan dan tidak direalisasikan dengan baik? Sebenarnya bentuk atau versi seperti apa yang diingingkan?
Sangat beralasan jika pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum, rasional bila dicap telah mewariskan versi peraturan yang mengarah terhadap kepentingan pribadi. Realitas berbicara, banyak kita temukan berbagai kasus penyunatan (eyebrow) dan kesepakatan antar lembaga, bahkan antara Diknas-Depag dengan lembaga. Baik pemalsuan data, pemaksaan membeli buku paket yang disediakan lembaga.
Bercermin terhadap kasus pelaksanaan Ujian Nasional (UN), penetapan angka kelulusan bagi siswa dengan standart nilai tidak masnusiawi dan tidak relefan apalagi materi UN ditambah. Sebab, ini menambah beban psikologis, ironisnya lembaga untuk memenuhi target nilai tersebut, membentuk tim sukses (TS – fersi pilpres, pilgub dll), apalagi masi banyak persoalan dalam pelaksanaan UN.
Wajar, jika terjadi pembentukan TS untuk membantu, sebab, penentuan kelulusan hanya berjalan satu arah. Sehingga, pendidik tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya. Sebab, kemampuan siswa (life skill) hanya pendidik tahu terhadap perkembangan peserta didik.
Kembali terhadap kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan, secara merata, masih belum terealisasikan. Sebagian lembaga masih banyak yang memperihatinkan, baik dari segi sarana dan prasana. Sehingga, menyebabkan mutu pendidikan yang akan dibingkai secara matang untuk ditingkatkan banyak kendala.
Sekarang, penyelenggaraan pendidikan dilakuakan secara sentralistik, sehingga sekolah secara historis sebagai penyelenggara masih tergantung kepada keputusan berokrasi tidak manusiawi. Kadang-kadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan lembaga pendidikan setempat. Maka, sekolah mulai kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaganya secara mandiri, termasuk meningkatkan mutu pendidikan yang berstandar nasional – internasional.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan hanya melihat dari hasil evalusi akhir (ujian nasional) dan penerapan pendekatan education production fuction hanya terlalu memusatkan terhadap input, dan tidak memperhatikan terhadap peroses pendidikan. Sedangkan dalam menentukan output sangat menentukan.
Maka dari itu ada, Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).[1]
Dalam rangka merealisasikan 'learning to know', Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses "learning to live together" (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu: (1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan); (2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?; (3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran); (4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?; (5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?; (6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi); (7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?[2]
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar


[1]http://re-searcengines.com/art05-107.html
[2]http://irno-sulaiman.blogspot.com/2009/05/menyoal-masa-depan-pendidikan_24.html

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog



Diberdayakan oleh Blogger.