Pakar ilmu falak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Dr Abu Rahmat menilai perlu badan falakiyah yang memiliki otoritas penetapan awal puasa dan Lebaran Idul Fitri.
"Selama ini kerap terjadi perbedaan penentuan awal puasa dan Lebaran dan karenanya diperlukan badan yang memiliki otoritas khusus untuk menetapkannya, bukan pemerintah," kata Abu Rahmat di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (19/8).
Ia mengakui, selama ini pemerintah memang menetapkan awal puasa dan Lebaran, namun ada organisasi masyarakat (ormas) Islam yang berbeda dalam penentuannya, sehingga membuat ada dua pendapat.
Badan otoritas inilah, kata dia, nantinya yang akan menengahi perbedaan di kalangan umat, apalagi masyarakat cenderung lebih memercayai ormasnya dalam penentuan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri.
"Badan otoritas ini sudah diterapkan di negara-negara Islam, dan Indonesia bisa menerapkannya. Sebab, jika kondisi ini dibiarkan akan menimbulkan banyak perbedaan waktu perayaan Hari Raya Idul Fitri," katanya.
Terkait perbedaan penetapan hari raya, ia mengakui setidaknya ada dua metode, yakni hisab dan rukyat yang kerap berujung pada perbedaan penetapan, namun esensi kedua metode penetapan hilal sebenarnya sama.
Kedua metode itu, yakni hisab dan rukyat, kata dia, merujuk pada hadits yang sama, tetapi yang dikhawatirkan adanya golongan yang menetapkan di luar kedua metode tersebut, misalnya jamaah An Nadzir di Sulawesi Selatan.
"Jamaah An Nadzir berpatokan pada tanda-tanda alam, seperti pasang surut air laut dalam menentukan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Tidak menggunakan metode hisab dan rukyat," katanya.
Karena itu, kata Abu, dengan otoritas penetapan hilal diharapkan tidak ada lagi perbedaan semacam itu, namun otoritas itu nantinya harus disepakati dan dipercaya oleh seluruh ormas Islam yang ada.
Sedangkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah KH Ahmad Darodji membenarkan bahwa di negara-negara Islam, seperti Arab Saudi memiliki semacam badan otoritas falakiyah.
"Badan otoritas falakiyah ini memiliki kewenangan menetapkan awal Ramadan dan Syawal, namun penerapannya di Indonesia masih perlu pengkajian," katanya.
Karena itu, ia memilih menyerahkannya sementara pada umat, apakah akan mengikuti keputusan pemerintah dalam penetapan Ramadan dan Syawal, atau mengikuti ormas Islam, apalagi perbedaan itu karena metode penentuan hilal.
"Metode hisab dan rukyat sebenarnya merujuk pada hadits yang sama, yakni 'Berpuasalah engkau jika melihat bulan (hilal awal) ...', namun kemudian ditafsirkan secara berbeda," katanya.
Kalau metode rukyat, kata Darodji, memilih melihat posisi hilal (bulan) secara langsung, sedangkan metode hisab menggunakan perhitungan matematis menentukan posisi hilal menandakan dimulainya awal bulan pada penanggalan Hijriah.
"Selama ini kerap terjadi perbedaan penentuan awal puasa dan Lebaran dan karenanya diperlukan badan yang memiliki otoritas khusus untuk menetapkannya, bukan pemerintah," kata Abu Rahmat di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (19/8).
Ia mengakui, selama ini pemerintah memang menetapkan awal puasa dan Lebaran, namun ada organisasi masyarakat (ormas) Islam yang berbeda dalam penentuannya, sehingga membuat ada dua pendapat.
Badan otoritas inilah, kata dia, nantinya yang akan menengahi perbedaan di kalangan umat, apalagi masyarakat cenderung lebih memercayai ormasnya dalam penentuan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri.
"Badan otoritas ini sudah diterapkan di negara-negara Islam, dan Indonesia bisa menerapkannya. Sebab, jika kondisi ini dibiarkan akan menimbulkan banyak perbedaan waktu perayaan Hari Raya Idul Fitri," katanya.
Terkait perbedaan penetapan hari raya, ia mengakui setidaknya ada dua metode, yakni hisab dan rukyat yang kerap berujung pada perbedaan penetapan, namun esensi kedua metode penetapan hilal sebenarnya sama.
Kedua metode itu, yakni hisab dan rukyat, kata dia, merujuk pada hadits yang sama, tetapi yang dikhawatirkan adanya golongan yang menetapkan di luar kedua metode tersebut, misalnya jamaah An Nadzir di Sulawesi Selatan.
"Jamaah An Nadzir berpatokan pada tanda-tanda alam, seperti pasang surut air laut dalam menentukan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Tidak menggunakan metode hisab dan rukyat," katanya.
Karena itu, kata Abu, dengan otoritas penetapan hilal diharapkan tidak ada lagi perbedaan semacam itu, namun otoritas itu nantinya harus disepakati dan dipercaya oleh seluruh ormas Islam yang ada.
Sedangkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah KH Ahmad Darodji membenarkan bahwa di negara-negara Islam, seperti Arab Saudi memiliki semacam badan otoritas falakiyah.
"Badan otoritas falakiyah ini memiliki kewenangan menetapkan awal Ramadan dan Syawal, namun penerapannya di Indonesia masih perlu pengkajian," katanya.
Karena itu, ia memilih menyerahkannya sementara pada umat, apakah akan mengikuti keputusan pemerintah dalam penetapan Ramadan dan Syawal, atau mengikuti ormas Islam, apalagi perbedaan itu karena metode penentuan hilal.
"Metode hisab dan rukyat sebenarnya merujuk pada hadits yang sama, yakni 'Berpuasalah engkau jika melihat bulan (hilal awal) ...', namun kemudian ditafsirkan secara berbeda," katanya.
Kalau metode rukyat, kata Darodji, memilih melihat posisi hilal (bulan) secara langsung, sedangkan metode hisab menggunakan perhitungan matematis menentukan posisi hilal menandakan dimulainya awal bulan pada penanggalan Hijriah.
0 komentar:
Posting Komentar