Puasa secara etimologis berarti menahan, yaitu menahan makan, minum, kegiatan seksual dan hal-hal lain yang bisa mengurangi atau membatalkan puasa. Sebagai ibadah individual, maka puasa merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah saja. Orang bisa berpura-pura puasa, padahal sebenarnya tidak. Bahkan, orang bisa melakukan puasa, tetapi tidak memperoleh pahala dari ibadah puasanya.
Puasa merupakan proses penyucian diri. Dari aspek ini, puasa memang merupakan instrumen untuk membangun kesadaran bagi manusia untuk selalu taat kepada Allah, sehingga akan membentuk sikap dan tindakan kesalehan ritual. Akan tetapi sesungguhnya puasa juga memiliki makna sosial, sebab puasa bisa menjadi instrumen untuk membangun kesadaran sosial.
Puasa akan mengarahkan sikap dan tindakan manusia untuk kesalehan sosial. Puasa yang dilakukan dengan keikhlasan yang tinggi tentu akan bisa mengantarkannya untuk memiliki kesadaran kritis tentang dunia di sekelilingnya. Kesadaran tersebut berupa pemahaman bahwa kelaparan, kehausan, dan menahan hawa nafsu ternyata bukan persoalan sederhana.
Melalui puasa, akan diketahui bagaimana rasanya menahan lapar, bagaimana rasanya menahan haus, dan bagaimana rasanya menahan semua hawa nafsu kemanusiaannya. Jadi, melalui puasa, akan dirasakan pengalaman yang selama ini tidak dihiraukannya. Melalui puasa yang dilakukan, maka akan timbul dampak tentang solidaritas sosial. Mereka akan menjadi sayang kepada sesamanya.
Jika ada orang yang lapar, akan tergerak hatinya untuk memberinya makan. Jika ada orang yang kehausan, akan muncul kesadarannya untuk memberikan minuman. Jika ada orang yang kesulitan, akan tergerak batinnya untuk mencari penyelesaian.
Puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan, keikhlasan, dan perhitungan atau imanan wa ihtisaban, maka akan mengantarkannya kepada kesadaran baru tentang pentingnya membangun solidaritas sosial secara tuntas di dalam kehidupan. Dengan demikian, puasa tidak hanya mengandung dimensi ritual an sich, tetapi juga mengandung makna kesadaran sosial.
Puasa yang benar adalah ketika puasa tersebut dapat menjadi instrumen di dalam kerangka untuk menyayangi sesama manusia, sebagaimana yang bersangkutan menyayangi dirinya sendiri. Dengan demikian, puasa akan menjadi bermakna ketika puasa yang dilakukan dapat membangun kesadaran baru tentang pentingnya membangun ritualitas yang saleh dan sekaligus juga membangun sosialitas yang saleh. Wallahu a'lam bi al shawab.
Nur Syam
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
Puasa merupakan proses penyucian diri. Dari aspek ini, puasa memang merupakan instrumen untuk membangun kesadaran bagi manusia untuk selalu taat kepada Allah, sehingga akan membentuk sikap dan tindakan kesalehan ritual. Akan tetapi sesungguhnya puasa juga memiliki makna sosial, sebab puasa bisa menjadi instrumen untuk membangun kesadaran sosial.
Puasa akan mengarahkan sikap dan tindakan manusia untuk kesalehan sosial. Puasa yang dilakukan dengan keikhlasan yang tinggi tentu akan bisa mengantarkannya untuk memiliki kesadaran kritis tentang dunia di sekelilingnya. Kesadaran tersebut berupa pemahaman bahwa kelaparan, kehausan, dan menahan hawa nafsu ternyata bukan persoalan sederhana.
Melalui puasa, akan diketahui bagaimana rasanya menahan lapar, bagaimana rasanya menahan haus, dan bagaimana rasanya menahan semua hawa nafsu kemanusiaannya. Jadi, melalui puasa, akan dirasakan pengalaman yang selama ini tidak dihiraukannya. Melalui puasa yang dilakukan, maka akan timbul dampak tentang solidaritas sosial. Mereka akan menjadi sayang kepada sesamanya.
Jika ada orang yang lapar, akan tergerak hatinya untuk memberinya makan. Jika ada orang yang kehausan, akan muncul kesadarannya untuk memberikan minuman. Jika ada orang yang kesulitan, akan tergerak batinnya untuk mencari penyelesaian.
Puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan, keikhlasan, dan perhitungan atau imanan wa ihtisaban, maka akan mengantarkannya kepada kesadaran baru tentang pentingnya membangun solidaritas sosial secara tuntas di dalam kehidupan. Dengan demikian, puasa tidak hanya mengandung dimensi ritual an sich, tetapi juga mengandung makna kesadaran sosial.
Puasa yang benar adalah ketika puasa tersebut dapat menjadi instrumen di dalam kerangka untuk menyayangi sesama manusia, sebagaimana yang bersangkutan menyayangi dirinya sendiri. Dengan demikian, puasa akan menjadi bermakna ketika puasa yang dilakukan dapat membangun kesadaran baru tentang pentingnya membangun ritualitas yang saleh dan sekaligus juga membangun sosialitas yang saleh. Wallahu a'lam bi al shawab.
Nur Syam
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar